Menu Sahur yang Tak Pernah Sama
Di tengah keremangan subuh, denting peralatan makan nyaris tak terdengar. Abu Sofyan, warga Gaza, duduk bersama keluarganya di sebuah ruangan yang tak lagi berdinding kokoh. Debu dan reruntuhan bangunan menjadi pemandangan akrab bagi mereka setiap hari. “Menu sahur kami sederhana, terkadang hanya roti dan air putih,” tutur Abu Sofyan dengan nada lapang dada.
Kehidupan di Gaza, terutama saat bulan Ramadhan, semakin menantang setiap tahunnya. Konflik berkepanjangan kerap memutus akses terhadap kebutuhan pokok. Sehingga bagi banyak keluarga seperti milik Abu Sofyan, menikmati satu hari penuh dengan santapan cukup sudah menjadi kemewahan.
Kehangatan Keluarga di Tengah Darurat
Meskipun hidup dalam tekanan, semangat persaudaraan di keluarga Abu Sofyan tetap kuat. “Kami saling berpelukan dan berdoa sebelum makan,” ujar Aisyah, istri Abu Sofyan, sembari tersenyum. Ritual sederhana ini menjadi simbol perjuangan mereka dalam menghadapi segala keterbatasan yang ada.
Anak-anak mereka, meski masih kecil, sudah terbiasa dengan situasi ini. Ali, anak bungsu keluarga tersebut, sering melihat ayahnya mengajar di masjid terdekat. Meski bangunan masjid itu sendiri penuh dengan bekas kerusakan, semangat untuk menuntut ilmu agama tak pernah padam. “Kita belajar dari setiap kejadian, semoga ini menjadi bekal masa depan,” ungkap Abu Sofyan.
Solidaritas dalam Bentuk Bantuan
Sementara itu, solidaritas dari masyarakat internasional terus mengalir. Lembaga kemanusiaan berbagai negara berupaya meringankan beban warga Gaza. Bantuan dalam bentuk bahan makanan, obat-obatan, dan kebutuhan lainnya datang dari seluruh penjuru dunia.
“Paket bantuan membuat kami bisa bertahan,” ujar Aisyah seraya menunjukkan beberapa bahan pangan di dapurnya. Namun, meski bantuan datang silih berganti, kebutuhan dasar seperti air bersih dan listrik masih menjadi tantangan besar. Pemadaman listrik bisa berlangsung selama 16 jam sehari, sementara ketersediaan air bersih sangat terbatas.
Harapan untuk Kedamaian
Abu Sofyan dan keluarganya terus berharap akan kedamaian. “Di setiap doa kami, ada harapan dan cita-cita untuk masa depan yang lebih baik,” katanya. Mereka tahu tantangan ini belum akan berakhir, namun semangat solidaritas dari berbagai belahan dunia memberi mereka semangat untuk terus bertahan.
Ramadhan kali ini diharapkan menjadi momentum untuk merefleksikan diri dan menghargai kehidupan. Di tengah reruntuhan dan debu, warga Gaza seperti Abu Sofyan tak henti-hentinya berdoa. Mereka memohon agar roda kehidupan kembali berputar normal dan anak-anak mereka bisa tumbuh dalam suasana damai dan sejahtera.
Cerita Abu Sofyan ini menggambarkan ketabahan, semangat, dan harapan yang selalu ada di tengah keterbatasan. Hidup di Gaza memang penuh tantangan, namun bukan berarti mereka kehilangan asa. Dengan bantuan dan doa dari seluruh dunia, mereka terus berjuang untuk masa depan yang lebih cerah.