Semarang (Infojabar.com) – Seorang anggota kepolisian yang bertugas di Polda Jawa Tengah, Brigadir AK, tengah menjadi sorotan setelah diduga menghabisi nyawa bayi kandungnya yang baru berusia dua bulan. Kasus ini terungkap setelah ibu korban, DJP (24), melaporkan kejadian tragis tersebut ke pihak berwenang.
Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, membenarkan bahwa laporan terkait insiden ini telah diterima oleh kepolisian. “Ya, benar, ada laporan mengenai kejadian ini,” ujar Artanto saat dikonfirmasi, Senin (10/3/2025).
Kronologi Peristiwa Menurut Ibu Korban
Berdasarkan informasi yang dihimpun, insiden terjadi pada Minggu (2/3/2025). Saat itu, DJP bersama suaminya, Brigadir AK, dan bayi mereka pergi berbelanja ke Pasar Peterongan, Semarang. Sebelum masuk ke pasar, mereka sempat mengabadikan momen bersama di dalam mobil sekitar pukul 14.39 WIB. DJP kemudian turun untuk berbelanja, sementara bayinya tetap bersama Brigadir AK di dalam kendaraan.
Ketika kembali, DJP dikejutkan dengan kondisi anaknya yang sudah membiru dan tak sadarkan diri. Ia panik dan berusaha membangunkan bayinya, namun tidak ada respons. Brigadir AK berdalih bahwa anak mereka tersedak setelah muntah. Ia mengaku telah menepuk punggung bayi untuk membantunya bernapas kembali sebelum tertidur.
Namun, DJP merasa ada kejanggalan. “Jika benar tersedak, mengapa Brigadir AK tidak segera menghubungi saya? Kenapa baru memberi tahu saat saya kembali?” ujar pengacara DJP, Alif Abudrrahman, Selasa (11/3/2025).
DJP segera melarikan anaknya ke RS Roemani, Semarang. Sayangnya, meski sempat mendapat perawatan medis selama satu hari, bayi tersebut dinyatakan meninggal dunia pada 3 Maret 2025 pukul 15.00 WIB. Berdasarkan keterangan medis, penyebab kematian adalah gagal napas. Malam harinya, jasad bayi langsung dimakamkan di Purbalingga, kampung halaman Brigadir AK.
Brigadir AK Menghilang, DJP Lapor Polisi
Seiring berjalannya waktu, DJP semakin curiga dengan kematian putranya. Dugaan itu semakin kuat setelah Brigadir AK tiba-tiba menghilang dan sulit dihubungi.
“Brigadir AK seolah ingin menghilangkan jejak. Ia menghindari komunikasi dan sulit dilacak keberadaannya,” kata Alif.
Atas dasar itu, DJP melaporkan kejadian ini ke Polda Jawa Tengah pada 5 Maret 2025 dengan nomor laporan LP/B/38/3/2025/SPKT. Laporan tersebut mengacu pada pasal yang berkaitan dengan perlindungan anak dan pembunuhan, yakni Pasal 80 Ayat 3 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, serta Pasal 338 dan Pasal 351 Ayat 3 KUHP.
Sebagai tindak lanjut, pada 7 Maret 2025, tim penyidik Polda Jateng melakukan ekshumasi guna memastikan penyebab pasti kematian korban.
Dugaan Intimidasi terhadap DJP
Di tengah upayanya mencari keadilan, DJP mengaku menerima berbagai bentuk intimidasi agar tidak melanjutkan kasus ini.
“Ada pihak-pihak yang mencoba menekan korban agar diam dan menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan,” ungkap Alif.
Untuk melindungi kliennya, tim kuasa hukum DJP telah berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Langkah ini diambil untuk menghindari potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam proses hukum yang berjalan.
Desakan Pemeriksaan Kejiwaan Brigadir AK
Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, menyoroti perlunya pemeriksaan kejiwaan terhadap Brigadir AK.
“Sangat sulit membayangkan seorang ayah tega menghabisi nyawa anak kandungnya sendiri, kecuali ada gangguan psikologis yang serius,” kata Sugeng, Selasa (11/3/2025).
Meski menggarisbawahi aspek kesehatan mental, Sugeng menegaskan bahwa dugaan motif harus diusut secara transparan.
“Biasanya, tekanan kerja di kepolisian berujung pada tindakan bunuh diri, bukan membunuh anak. Oleh karena itu, harus dilakukan penyelidikan mendalam terkait kondisi psikologis pelaku, baik di lingkungan keluarga maupun tempat kerja,” jelasnya.
Tuntutan Transparansi dari Polda Jateng
Tim kuasa hukum DJP mendesak Kapolda Jateng Irjen Pol Ribut Hari Wibowo untuk menaruh perhatian khusus pada kasus ini. Mereka menuntut agar proses hukum, baik pidana maupun etik, dilakukan secara transparan.
“Kasus ini sangat memilukan dan masyarakat berhak mengetahui bagaimana penyelesaiannya. Kami berharap tidak ada intervensi dalam penegakan hukum,” tegas Alif.
Hingga kini, publik menanti perkembangan lebih lanjut mengenai penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian dalam mengungkap kebenaran di balik tragedi ini.