Jakarta (Infojabar.com) – Kebijakan penundaan pengangkatan Calon Aparatur Sipil Negara (CASN) 2024 menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Awalnya, pemerintah merencanakan pengangkatan lebih dari dua juta CASN tahun ini. Namun, keputusan tersebut ditunda hingga 2025 atau 2026 dengan alasan penataan kebutuhan dan penempatan ASN untuk mendukung program prioritas nasional.
Sejumlah pihak mempertanyakan keputusan ini, mengingat sebelumnya Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) telah mengumumkan bahwa seleksi CASN 2024 menjadi yang terbesar sepanjang sejarah dengan formasi mencapai 2.302.543 orang. Dari jumlah tersebut, 429.183 dialokasikan untuk instansi pusat, 1.867.333 untuk pemerintah daerah, dan 6.027 untuk sekolah kedinasan.
Namun, keputusan untuk menunda pengangkatan menimbulkan pertanyaan, apakah benar hanya demi penataan dan efisiensi, ataukah ada faktor lain seperti keterbatasan anggaran yang membebani pemerintah?
Dampak Penundaan Pengangkatan CASN 2024
Berdasarkan laporan berbagai media, banyak peserta seleksi CASN yang telah mengundurkan diri dari pekerjaan sebelumnya dengan harapan segera diangkat menjadi ASN. Sebagian lainnya bahkan menunda mencari pekerjaan karena sudah dinyatakan lulus seleksi. Akibatnya, keputusan pemerintah ini berpotensi menciptakan lonjakan angka pengangguran baru hingga 2,3 juta orang.
Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah pekerja yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat kepailitan perusahaan besar seperti Sritex, maupun pengemudi ojek online yang sempat terancam tidak menerima tunjangan hari raya (THR). Jika dalam kasus Sritex dan pengemudi ojol pemerintah mengambil langkah intervensi, bagaimana dengan nasib peserta CASN yang kini terkatung-katung akibat kebijakan ini?
Menteri PANRB Rini Widyantini menegaskan bahwa transformasi rekrutmen dan jabatan ASN bertujuan menciptakan birokrasi yang lebih lincah dan kolaboratif. Namun, publik mempertanyakan inkonsistensi kebijakan ini, terutama dalam pemerintahan yang baru saja berganti. Apakah keputusan penundaan ini benar-benar merupakan bagian dari reformasi birokrasi atau sekadar bentuk efisiensi karena keterbatasan anggaran?
Solusi di Tengah Birokrasi Gemuk
Di sisi lain, di tengah keluhan keterbatasan anggaran, pemerintah justru membentuk kabinet yang semakin gemuk. Hal ini memicu polemik karena pengisian jabatan di berbagai kementerian/lembaga berkonsekuensi pada bertambahnya jumlah ASN baru dan peningkatan beban anggaran operasional negara.
Salah satu solusi yang dapat diambil pemerintah adalah fungsionalisasi birokrasi, di mana struktur organisasi kementerian dan lembaga tidak perlu dibentuk hingga eselon IV. Cukup dengan jabatan pimpinan tinggi madya (eselon I) diikuti pejabat fungsional di bawahnya. Dengan demikian, kebutuhan akan penambahan ASN dapat diminimalisir tanpa mengorbankan efisiensi dan efektivitas pemerintahan.
Namun, fakta menunjukkan bahwa Kementerian PANRB justru menyetujui pembentukan organisasi hingga eselon IV di berbagai kementerian dan lembaga baru. Akibatnya, kebutuhan penambahan ASN dan beban anggaran pun semakin membesar.
Harapan Publik Terhadap Kebijakan Pemerintah
Masyarakat berharap agar pemerintah dapat memastikan kebijakan yang telah direncanakan dapat dieksekusi tanpa menimbulkan ketidakpastian. Ketidakkonsistenan dalam pengambilan keputusan justru dapat merugikan banyak pihak, terutama para peserta seleksi CASN yang kini nasibnya belum jelas.
Seperti yang pernah dikatakan Anies Baswedan, “Jangan bereksperimen dengan bangsa sendiri.” Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali langkah-langkah yang diambil agar tidak merugikan rakyat. Jika kendala utama adalah kesulitan dalam pembayaran utang negara, mungkinkah solusi seperti penjadwalan ulang atau pemutihan utang bisa dipertimbangkan?
Keputusan pemerintah dalam penundaan pengangkatan CASN 2024 ini menjadi ujian bagi reformasi birokrasi dan kebijakan anggaran. Apakah pemerintah akan mencari solusi yang lebih baik atau justru membiarkan ketidakpastian ini berlarut-larut? Publik menanti kepastian dari pemerintah agar keputusan yang diambil tidak sekadar menjadi beban baru bagi masyarakat.