Banda Aceh (Infojabar.com) – Psikolog dan dosen Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Iyulen Pebry Zuanny, menyatakan bahwa konsep toxic masculinity atau maskulinitas toksik menjadi salah satu faktor pemicu yang dapat meningkatkan dorongan bunuh diri pada pria.
Menurut Iyulen, toxic masculinity menciptakan konstruksi sosial yang menuntut pria untuk selalu terlihat superior, tangguh, dan tidak bergantung pada orang lain. Kondisi ini membuat banyak pria enggan mencari bantuan, baik dari keluarga, teman, maupun profesional.
“Toxic masculinity memperburuk risiko perilaku bunuh diri pada laki-laki karena mereka cenderung menyimpan masalahnya sendiri tanpa berbagi dengan orang lain,” jelas Iyulen saat ditemui di Banda Aceh, Sabtu.
Ia juga mengungkapkan bahwa berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, pria yang terjebak dalam pola pikir toxic masculinity lebih rentan mengalihkan tekanan emosional mereka ke tindakan negatif, seperti penyalahgunaan narkotika, atau bahkan bunuh diri.
Iyulen menjelaskan bahwa pria cenderung lebih sulit mengekspresikan emosi dibandingkan perempuan. Hal ini membuat gejala stres atau depresi pada pria sering kali sulit dideteksi. “Perempuan umumnya lebih ekspresif dalam menunjukkan gejala-gejala stres atau depresi, sementara pria lebih tertutup, sehingga gejalanya sulit terlihat,” tambah Iyulen.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa budaya patriarki yang ada di masyarakat turut memperburuk keadaan. Budaya ini menempatkan pria dalam posisi sebagai figur kuat yang tidak boleh menunjukkan kelemahan, termasuk perasaan negatif. “Stigma sosial ini menuntut pria untuk selalu terlihat tegar dan kuat, dan mereka enggan untuk menunjukkan sisi lemah atau menangis. Akibatnya, mereka lebih memilih untuk menutup diri dan tidak berbagi masalah,” ujarnya.
Tekanan ekonomi dan pekerjaan yang tinggi, ketidakmatangan emosional, serta kecanduan narkotika juga disebut sebagai faktor-faktor yang dapat memperburuk kondisi mental pria dan mendorong mereka ke perilaku bunuh diri.
Dalam kesempatan ini, Iyulen juga menekankan bahwa setiap individu memiliki faktor dan kondisi yang berbeda dalam menghadapi kecenderungan bunuh diri. Oleh karena itu, penting untuk melakukan asesmen dan pemeriksaan secara individu untuk memahami kondisi spesifik seseorang dan memberikan penanganan yang sesuai.
“Perilaku orang yang memiliki kecenderungan bunuh diri (OKBD) bisa berbeda-beda, jadi penting dilakukan asesmen dan pemeriksaan secara individual agar penanganannya tepat,” tutup Iyulen.