(Infojabar.com) – Insiden jatuhnya pesawat Boeing 787 Dreamliner milik Air India sesaat setelah lepas landas dari Bandara Ahmedabad, Gujarat, memicu perhatian luas dari kalangan analis dan pakar penerbangan. Penyelidikan awal kini tengah difokuskan pada penyebab kegagalan pesawat dalam mencapai ketinggian aman setelah mengudara.
Pesawat dengan nomor penerbangan AI171, yang mengangkut 242 penumpang, dilaporkan hanya mampu mencapai ketinggian sekitar 625 kaki sebelum jatuh. Menurut analis penerbangan Alex Macheras, fase lepas landas dan pendaratan adalah tahap paling krusial dalam penerbangan dan menuntut koordinasi yang sangat ketat antara kru kokpit dan pengendali lalu lintas udara.
“Boeing 787 dikenal memiliki catatan keselamatan yang baik. Maka, kegagalan untuk menanjak segera setelah take-off adalah kejanggalan serius yang menjadi fokus utama penyelidikan,” ujar Macheras, dikutip dari Al Jazeera, Jumat (13/6/2025).
Roda Pendaratan Tak Tertarik, Ada Indikasi Kerusakan Sistem
Rekaman video dari warga yang beredar di media sosial—meski belum diverifikasi—menunjukkan pesawat tampak kesulitan naik setelah lepas landas. Hal ini mengejutkan banyak profesional penerbangan, mengingat Dreamliner milik Air India tersebut telah beroperasi selama 11 tahun dan merupakan bagian dari armada global Boeing yang mencapai lebih dari 1.100 unit.
Muncul dugaan bahwa roda pendaratan tidak tertarik ke dalam, kemungkinan akibat kegagalan sistem hidrolik atau masalah tenaga mesin. Sejumlah laporan dari mantan pilot menyebutkan bahwa posisi roda yang tetap terbuka bisa berdampak signifikan terhadap daya angkat pesawat, dan mempersulit proses pendakian.
Kru disebut sempat mengeluarkan sinyal darurat, indikasi bahwa ada kegagalan sistem atau situasi kritis yang terdeteksi di dalam kokpit.
Pakar: Posisi Flap dan Konfigurasi Sayap Perlu Ditelusuri
Analis keselamatan penerbangan asal Amerika Serikat, John M. Cox, menyatakan bahwa fokus penyelidikan kini akan mengarah pada konfigurasi pesawat saat tinggal landas, termasuk posisi bilah sayap (flap) dan sistem kendali penerbangan.
“Foto-foto awal menunjukkan hidung pesawat mengarah ke atas, namun kehilangan ketinggian tetap terjadi. Hal ini bisa berarti daya angkat tidak cukup. Jika flap tidak dalam posisi optimal, sangat mungkin terjadi stall,” jelas Cox, yang juga menjabat CEO Safety Operating Systems di Washington DC.
Kondisi di mana roda pendaratan terbuka dan flap sudah ditarik kembali juga disoroti oleh editor penerbangan Nagarjun Dwarakanth. Ia menilai, konfigurasi tersebut sangat tidak lazim untuk ketinggian dan kecepatan rendah, dan bisa memperbesar risiko kehilangan daya angkat secara drastis.
“Biasanya, roda ditarik setelah ketinggian 50 kaki tercapai, dan flap diturunkan hingga kecepatan dan ketinggian stabil. Dalam kasus ini, prosedur tampaknya terganggu,” katanya.
Faktor Manusia atau Kerusakan Sistemik?
Ehsan Khalid, mantan pilot maskapai komersial, menduga ada kemungkinan kegagalan salah satu mesin, namun menyebut skenario dua mesin mati secara bersamaan sangat kecil kemungkinannya, kecuali ada penyebab luar seperti serangan burung secara serentak.
Khalid menekankan pentingnya Flight Data Recorder (FDR) dan Cockpit Voice Recorder (CVR) untuk mengungkap detik-detik terakhir sebelum jatuh. Data digital dari sistem ACARS juga dinilai krusial dalam merekonstruksi kondisi teknis pesawat.
Sementara itu, Anthony Brickhouse, konsultan keselamatan penerbangan, menilai bahwa konfigurasi pesawat sebelum insiden lebih menyerupai persiapan pendaratan daripada tahap pendakian. “Anomali ini mengisyaratkan adanya kegagalan teknis serius atau kombinasi dari beberapa kerusakan sistem,” ujarnya.
Investigasi AAIB Berlangsung Intensif
Biro Investigasi Kecelakaan Udara India (AAIB) saat ini telah mengambil alih proses investigasi. Fokus utama adalah pada rekaman kotak hitam, komunikasi terakhir antara awak dan ATC, serta pemeriksaan menyeluruh terhadap komponen teknis pesawat.
Hasil penyelidikan ini diharapkan dapat memberikan gambaran menyeluruh mengenai penyebab kecelakaan, serta menentukan apakah ada faktor sistemik yang juga mengancam operasi Boeing 787 Dreamliner lainnya di seluruh dunia.