Sukoharjo (Infojabar.com) – PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex, salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, resmi menghentikan operasionalnya mulai Sabtu, 1 Maret 2025. Penutupan ini berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap lebih dari 10 ribu karyawan yang selama ini menggantungkan hidup mereka pada perusahaan yang telah berdiri sejak 1966 tersebut.
Keputusan penutupan Sritex diambil setelah perusahaan dinyatakan tidak mampu melunasi utang dan mengalami kebangkrutan. Rapat kreditur yang digelar pada Jumat, 28 Februari 2025, mengonfirmasi bahwa kondisi finansial perusahaan tidak memungkinkan untuk mempertahankan kelangsungan usaha atau going concern.
“Dengan kondisi yang telah dipaparkan oleh kurator maupun debitur pailit, tidak memungkinkan untuk melanjutkan operasional perusahaan,” ujar Hakim Pengawas Pengadilan Niaga Semarang, Haruno Patriadi, dalam sidang kreditur kepailitan PT Sritex di Semarang, Jumat (28/2/2025).
Gelombang PHK di lingkungan Sritex Group telah berlangsung sejak Januari hingga akhir Februari 2025, dengan total 10.665 pekerja terdampak. Para pekerja yang kehilangan pekerjaan ini berasal dari empat perusahaan dalam grup Sritex, yakni PT Sritex Sukoharjo, PT Bitratex Semarang, PT Sinar Panja Jaya Semarang, dan PT Primayuda Boyolali. Gelombang PHK terakhir terjadi pada 26 Februari 2025, meskipun aktivitas produksi di pabrik Sukoharjo masih berjalan hingga 28 Februari.
Sekretaris Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Sritex Sukoharjo, Andreas Sugiyono, menyatakan bahwa para pekerja berharap manajemen perusahaan dan tim kurator memenuhi hak-hak mereka setelah PHK.
“Kami berharap hak pekerja, seperti pesangon dan kompensasi lainnya, tetap dipenuhi pasca-PHK ini,” ungkapnya.
Sebagai salah satu raksasa industri tekstil, Sritex sempat melewati berbagai tantangan, termasuk krisis moneter 1998. Namun, sejak Januari 2022, perusahaan mulai mengalami kesulitan keuangan setelah digugat oleh CV Prima Karya dalam kasus penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Tim kurator kepailitan mencatat terdapat 1.645 kreditur dalam daftar piutang tetap (DPT) terhadap Sritex. Dari total utang sebesar Rp 35,7 triliun, tim kurator hanya mengakui Rp 29,8 triliun sebagai piutang sah. Dalam daftar tersebut, terdapat 94 kreditur konkuren, 349 kreditur preferen, dan 22 kreditur separatis. Kreditur preferen mencatatkan tagihan Rp 619 miliar, kreditur separatis Rp 919 miliar, dan kreditur konkuren sebesar Rp 28,3 triliun.
Beberapa utang yang diakui oleh kurator meliputi kewajiban kepada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Sukoharjo sebesar Rp 28,6 miliar dan utang kepada Bea Cukai Surakarta senilai Rp 189,2 miliar. Selain itu, PT PLN Jawa Tengah-DIY juga mencatatkan piutang terhadap Sritex sebesar Rp 43,6 miliar.
Pengadilan Niaga Semarang menetapkan empat perusahaan dalam grup Sritex—PT Sri Rejeki Isman, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya—sebagai perusahaan pailit karena gagal membayar utang kepada para krediturnya. Salah satu pemasok, PT Indo Bharat Rayon, mengajukan gugatan setelah Sritex tidak mampu melunasi utang senilai Rp 101,31 miliar per Juni 2024. Meskipun jumlah tersebut hanya 0,38 persen dari total utang Sritex yang mencapai Rp 26,02 triliun, gugatan tersebut berujung pada vonis pailit akibat perjanjian homologasi dengan para kreditur.
Upaya banding yang diajukan Sritex terhadap vonis tersebut tidak membuahkan hasil. Mahkamah Agung resmi menolak kasasi yang diajukan perusahaan pada 18 Desember 2024, mengakhiri harapan Sritex untuk bertahan dari kebangkrutan.