(Infojabar.com) – Hukuman ringan terhadap pelaku korupsi kembali memicu sorotan publik. Kali ini, sorotan tertuju pada vonis yang dijatuhkan kepada mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Budi Sylvana, yang dinilai tidak mencerminkan keadilan di tengah besarnya kerugian negara akibat korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) saat pandemi COVID-19.
Pengamat hukum Universitas Bung Karno (UBK), Hudi Yusuf, menilai vonis ringan menjadi salah satu penyebab mengapa para koruptor tidak pernah jera. Ia menyebut, sistem peradilan yang lunak justru memberikan ruang nyaman bagi pelaku tindak pidana korupsi.
“Fenomena ini bukan hal baru. Ketika koruptor mendapat perlakuan istimewa dan hukuman ringan, tentu mereka tidak kapok. Malah bisa jadi contoh buruk bagi calon koruptor lainnya,” kata Hudi saat dihubungi di Jakarta, Minggu (8/6/2025).
Dalam kasus Budi Sylvana, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat memvonis tiga tahun penjara dan denda Rp100 juta, atau diganti kurungan dua bulan jika tidak dibayar. Padahal, jaksa penuntut sebelumnya menuntut hukuman empat tahun penjara dan denda Rp200 juta.
Hakim menilai Budi bersalah karena menyalahgunakan wewenangnya dalam proyek pengadaan APD, yang menurut perhitungan jaksa menyebabkan kerugian negara mencapai Rp319 miliar. Namun, hakim beralasan bahwa Budi tidak menikmati langsung hasil korupsi dan menunjukkan sikap kooperatif selama persidangan, sehingga vonis diringankan.
Hudi Yusuf mempertanyakan logika tersebut. Ia menilai, pengembalian kerugian negara seharusnya menjadi prioritas utama, dan hukuman yang dijatuhkan semestinya memberikan efek jera yang kuat.
“Seharusnya pelaku dihukum berat, minimal seribu tahun sebagai simbol penjeraan. Bahkan, idealnya mereka menjalani kerja sosial seumur hidup, seperti membersihkan fasilitas umum dengan mengenakan rompi oranye agar masyarakat bisa melihat langsung akibat dari korupsi,” ujarnya.
Ia juga mendorong jaksa untuk tidak tinggal diam jika vonis yang dijatuhkan hakim jauh lebih ringan dari tuntutan. Menurutnya, langkah hukum seperti banding harus segera diajukan.
“Jaksa wajib menelusuri mengapa vonis bisa begitu ringan, apalagi jika pasal yang dijatuhkan berbeda dari dakwaan awal. Transparansi sangat penting agar publik tidak kehilangan kepercayaan pada proses hukum,” tambahnya.
Kasus ini kembali memperlihatkan tantangan besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Di tengah upaya pemerintah untuk memperbaiki integritas birokrasi, vonis ringan terhadap korupsi besar justru bisa menggerus kepercayaan publik.